Beranda | Artikel
Kedudukan Al-Wala Dan Al-Bara Dalam Islam
Minggu, 28 Januari 2018

KEDUDUKAN AL-WALA’ DAN AL-BARA’ DALAM ISLAM

Oleh

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Masalah al-wala’ (loyalitas atau mencintai) dan al-bara’ (berlepas diri atau membenci) adalah masalah yang sangat penting dan ditekankan kewajibannya dalam Islam, bahkan merupakan salah satu landasan keimanan yang agung. Jika masalah ini dilalaikan oleh seseoarng, maka itu akan menyebabkan keimanannya rusak.[1]

Ketika menjelaskan agungnya kedudukan masalah ini dalam keimanan dan tauhid seseoang, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tidak akan lurus (benar) keislaman seseorang, meskipun dia telah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi (perbuatan) syirik, kecuali dengan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik dan menyatakan kebencian dan permusuhan tersebut kepada mereka .”[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika keimanan dan kecintaan di dalam hati seorang (Muslim) itu kuat, maka itu menuntut dia untuk membenci para musuh Allâh.”[3]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah lebih lanjut menjelaskan, “Sikap loyal dan cinta terhadap orang-orang yang menentang Allâh Azza wa Jalla menunjukkan lemahnya keimanan dalam hati seseorang kepada Allâh dan Rasul-Nya. Karena tidak masuk akal, jika seseorang mencintai sesuatu yang dimusuhi kekasihnya (Allâh Subhanahu wa Ta’ala ). Bersikap loyal terhadap orang-orang kafir adalah dengan menolong dan membantu mereka dalam kekafiran dan kesesatan yang mereka lakukan, sedangkan mencintai mereka adalah dengan melakukan sebab-sebab yang menimbulkan kecintaan mereka, yaitu berusaha mencari simpati mereka dengan berbagai cara. Tidak diragukan lagi perbuatan ini akan menghilangkan kesempurnaan iman atau bahkan menghilangkan seluruh keimanannya. Oleh karena itu, wajib bagi seorang Mukmin untuk membenci dan memusuhi orang yang menentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya, akan tetapi ini tidak boeleh menghalangi kita untuk terus menasehati dan mendakwahi orang tersebut kepada kebenaran”[4].

DALIL-DALIL YANG MENUNJUKKAN WAJIBNYA AL-WALA DAN AL-BARA’

Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini banyak sekali, diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman pada Allâh dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allâh dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang (yang menentang) itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah Allâh tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allâh ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allâh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. [Al-Mujâdilah/58:22]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “… Seorang hamba tidak akan menjadi seorang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhirat dengan (keimanan) yang sebenarnya kecuali setelah dia mengamalkan kandungan dan konsekwensi imannya, yaitu mencintai dan berloyalitas kepada orang-orang yang beriman (kepada Allâh), serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak beriman, meskipun mereka orang yang terdekat hubungannya dengannya.

Inilah keimanan yang hakiki yang menumbuhkan buah dan hasil (yang benar).

Adapun orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhirat, tapi bersamaan dengan itu dia juga mencintai para musuh Allâh dan menyayangi orang-orang yang mencampakkan iman dibelakangnya, maka ini adalah iman yang (cuma) pengakuan (tapi) tidak ada (bukti) nyatanya. Karena segala sesuatu harus disertai bukti (nyata) yang membenarkannya, adapun sekedar pengakuan (tanpa bukti) maka tidak ada artinya.”[5]

Juga dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jangnlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan dan barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [At-Taubah/9:23]

Demikian pula sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَحَبَّ للهِ وَأَبْغَضَ ِللهِ وَأَعْطَى ِللهِ وَمَنَعَ ِللهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإيْمَانَ

Barangsiapa yang mencintai karena Allâh, membenci karena Allâh, memberi karena Allâh, dan tidak memberi karena Allâh, maka sungguh ia telah sempurna keimanannya[6]

PEMBAGIAM SIKAP AL-WALA DAN AL-BARA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR SAN MUSYRIK[7]

Sikap al-wala’ dan al-bara’ kepada orang-orang kafir dan musyrik ada dua macam dan keduanya memiliki hukum yang berbeda, yaitu:

1. at-Tawalli, yang berarti mencintai perbuatan syirik dan pelakunya, atau menolong, atau membantu dan mendukung mereka untuk (melawan) orang-orang Mukmin, atau senang dengan semua itu. Ini adalah kekafiran yang besar (yang bisa menyebabkan seseorang keluar atau murtad dari agama Islam). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ 

Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka [Al-Mâ-idah/5:51]

Imam al-Bhagawi rahimahullah berkata, “Keimanan seorang Mukmin akan rusak dengan dia mencintai orang-orang kafir.”[8]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah menyebutkan bahwa ini termasuk hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan beliau berargumentasi dengan ayat di atas.[9]

2. al-Muwâlah, yang berarti saling berkasih sayang dan bersahabat, lawannya saling bermusuhan dan membenci.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-wilâyah (loyalitas/cinta) adalah lawan dari al-‘adâwah (permusuhan). Dan al-wilâyah mengandung (konsekwensi) cinta dan cocok, sedangkan al-‘adâwah mengandung (konsekwensi) kebencian dan ketidakcocokan.”[10]

Patokan (dalam menilai) al-muwâlah adalah mencintai orang-orang yang berbuat syirik karena (urusan) dunia (semata), dan tidak ada padanya (unsur) menolong (keyakinannya). Ini hukumnya termasuk perbuatan dosa besar (tapi tidak sampai tingkat kekafiran). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia (pemimpin). [Al-Mumtahanah/60:1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Terkadang seorang (Muslim) mencintai orang kafir karena (ada hubungan) keluarga atau keperluan (dunia), maka kecintaan ini adalah perbuatan dosa yang mengurangi (kesempurnaan) imannya, akan tetapi tidak membuatnya kafir (keluar dari Islam), sebagaimana yang terjadi pada Hathib bin Abi Balta’ah[11] Radhiyallahu anhu “[12]

Jadi, perbadaan antara at-tawalli dan al-muwâlaah adalah at-tawalli termasuk kekafiran besar yang menyebabkan pelakunya keluar  dari agama Islam (murtad), sedangkan al-muwâlah adalah dosa besar (yang tidak sampai tingkat kekafiran).

Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara al-muwâlah dan at-tawalli ? Maka beliau rahimahullah menjawab, “ at-tawalli adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar (murtad) dari agama, seperti membela dan menolong orang-orang kafir dengan harta, raga dan pikiran. Sedangkan al-muwâlah adalah termasuk dosa besar, seperti (membantu) mengisi tinta (pulpen), atau meraut pensil, menampakkan (wajah yang) berseri-seri (di hadapan) mereka, atau mengangkatkan cambuk bagi mereka.”[13]

BAGAIMANA MENEMPATKAN SIKAP AL-WALA DAN AL-BARA PADA MANUSIA SESUAI  DENGAN KADAR KETAATAN DAN KEMAKSIATAN?[14]

Dalam hal ini, manusia dibagi menjadi tiga golongan:

1. Orang-orang yang wajib dicintai dengan kecintaan yang murni dan tanpa ada kebencian (sama sekali).

Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang murni (sempurna), misalnya para nabi, para shiddik[15], orang-orang yang mati syahid serta orang-orang yang shaleh.

Yang paling utama adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk dicintai melebihi kecintaan kepada diri sendiri, orang tua, anak dan semua manusia.

Kemudian istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anggota keluarga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta para Sahabat g, terutama al-Khulafâ‘ur râsyidin (khalifah yang empat), sepuluh orang Sahabat yang dijanjikan masuk surga, para sahabat Muhajirin dan Anshar, para Sahabat yang ikut perang Badr, para Sahabat yang ikut dalam Bai’at Ridwan, dan para Sahabat lain secara keseluruhan radhiyallahu anhum.

Kemudian para Tabi’in, para Ulama dari tiga generasi utama, para ulama salaf dan imam mereka, seperti imam mazhab yang empat.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan dalam hati kami (ada) rasa dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami! Sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha Penyayang [Al-Hasyr/59:10]

Orang yang memiliki iman dalam hatinya tidak mungkin membenci para Sahabat Radhiyallahu anhum dan para Ulama salaf. Yang membenci mereka hanyalah orang-orang yang menyimpang (agamanya), orang-orang munafik dan musuh-musuh Islam, seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) dan Khawarij, semoga Allâh menyelamatkan kita (dari penyimpangan mereka).

2. Orang-orang yang wajib dibenci dan dimusuhi dengan kebencian dan permusuhan yang murni tanpa ada rasa cinta dan sikap loyal (sama sekali).

Mereka ini adalah orang-orang kafir yang murni (kekafirannya), dari kalangan orang-orang kafir, musyrik, munafik, murtad (keluar dari agama Islam), dan orang-orang yang mulhid (menyeleweng atau menyimpang jauh dari agama Islam, seperti orang-orang zindik), dengan berbagai macam dan golongan mereka.

3. Orang-orang yang (wajib) dicintai dari satu sisi (karena keimanan dan ketaatannya), dan harus dibenci dari sisi yang lain (karena perbuatan maksiatnya). Maka terkumpul pada diri mereka ini kecintaan dan kebencian sekaligus.

Mereka ini adalah orang-orang Mukmin yang berbuat maksiat. Mereka wajib dicintai karena mereka memiliki iman, dan harus dibenci karena mereka melakukan perbuatan maksiat yang tidak sampai pada tingkat kekafiran dan kesyirikan.

Kecintaan kepada mereka ini mengandung konsekwensi menasehati dan mengingkari (perbuatan maksiat) mereka. Kita wajib memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan melarang mereka dari kemungkaran, serta menegakkan batasan dan hukum Allâh Azza wa Jalla kepada mereka, sampai mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan bertaubat dari kesalahan mereka.

Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Taisîrul Wushûl, hlm. 36, karya syaikh Abdul Muhsin al-Qâsim

[2] Kitab ad-Durarus Saniyyah, 8/331

[3] Kitab Majmû’ul Fatâwâ, 7/522

[4] Syarhu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 36

[5] Taisîrul Karîmirrahman, hlm. 623

[6] HR. Abu Dawud, no. 4681 dan al-Hakim (no. 2694. Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani

[7] Pembahasan ini kami ringkas dari kitab Taisîrul Wushûl, hlm. 40-41 dengan sedikit penyesuaian.

[8] Tafsîr al-Baghawi (4/312).

[9] Lihat Risâlatu Nawâqidhil Islâm, poin ke delapan.

[10] Kitab Majmû’ul Fatâwâ, 5/510

[11] Kisah beliau z dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 2845 dan Muslim, no. 2494

[12] Kitab Majmû’ul Fatâwâ, 7/523

[13] Ad-Durarus Saniyyah, 8/422

[14] Pembahasan ini kami ringkas dari kitab al-Wala’ wal Bara’ fil Islâm, tulisan syaikh Shaleh al-Fauzan (hlm. 15-17) dengan sedikit penyesuaian.

[15] Mereka adalah orang-orang yang sangat teguh keimanannya terhadap kebenaran seruan para nabi


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8375-kedudukan-alwala-dan-albara-dalam-islam.html